Minggu, 09 November 2014

LAYANAN DALAM TELEMATIKA

LAYANAN- LAYANAN DALAM TELEMATIKA
Macam-macam layanan Telematika dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
1.       Layanan Informasi
Layanan Informasi merupakan penyampaian berbagai informasi kepada sasaran layanan agar individu dapat memanfaatkan informasi tersebut demi kepentingan hidup dan perkembangannya. Informasi disajikan dalam berbagai format , yaitu : teks, gambar, audio, dan video.
Tujuan layanan informasi secara umum yaitu agar terkuasainya informasi tertentu sedangkan secara khusus terkait dengan fungsi pemahaman (paham terhadap informasi yang diberikan) dan memanfaatkan informasi dalam penyelesaian masalahnya.
Teknologi informasi dan komunikasi, pada masa sekarang tidak dapat dilepaskan dengan telematika (cyberspace). Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, telah mempengaruhi banyak aspek kehidupan di masyarakat, antara lain dalam alam perkembangannya, teknologi telematika ini telah menggunakan kecepatan dan jangkauan transmisi energi elektromagnetik, sehingga sejumlah besar informasi dapat ditransmisikan dengan jangkauan, menurut keperluan, sampai seluruh dunia.
Pada saat ini informasi sudah banyak berkembang sedemikian rupa, hanya saja harus adanya dukungan teknologi. Teknologi telematika yang telah berkembang sehingga mampu menyampaikan suatu informasi. Sebagai contoh, sekarang semua orang sudah memunyai handphone, dan semakin hari semakin pesat perkembangan.
2.       Layanan Keamanan
Layanan Keamanan adalah suatu yang sangat penting untuk menjaga agar suatu data dalam jaringan tidak mudah hilang. Sistem keamanan membantu mengamankan jaringan tanpa menghalangi penggunaannya dan menempatkan antisipasi ketika jaringan berhasil ditembus. Keamanan jaringan di sini adalah memberikan peningkatan tertentu untuk jaringan.
Peningkatan keamanan jaringan ini dapat dilakukan terhadap :
a.       Rahasia (privacy)
b.      Keterpaduan data (data integrity)
c.       Keaslian (authenticity)
d.      Convert Channel

3.      Layanan Context – Aware – Event Base
Context Aware atau istilah lainnya context-awareness diperkenalkan oleh Schilit pada tahun 1994, dengan gagasan yang menyatakan bahwa perangkat komputer memiliki kepekaan dan dapat bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya berdasarkan informasi dan aturan-aturan tertentu yang tersimpan di dalam perangkat.
Istilah context-awareness mengacu kepada kemampuan layanan network untuk mengetahui berbagai konteks, yaitu kumpulan parameter yang relevan dari pengguna (user) dan penggunaan network itu, serta memberikan layanan yang sesuai dengan parameter-parameter itu.
Tiga hal yang menjadi perhatian sistem context-aware menurut Albrecht Schmidt, yaitu:
a.       The acquisition of context
b.      The abstraction and understanding of context
c.       Application behaviour based on the recognized context
Empat kategori aplikasi context-awareness menurut Bill N. Schilit, Norman Adams, dan Roy Want, yaitu :
1)      Proximate selection
Proximate selection adalah sebuah teknik antarmuka yang memudahkan pengguna dalam memilih atau melihat lokasi objek (benda atau manusia) yang berada didekatnya dan mengetahui posisi lokasi dari user itu sendiri. Ada dua variabel yang berkaitan dengan proximate selection ini, yaitu locus dan selection, atau tempat dan pilihan.
2)      Automatic Contextual Reconfiguration
Aspek terpenting dari salah satu contoh kasus sistem context-aware ini adalah bagaimana konteks yang digunakan membawa perbedaan terhadap konfigurasi sistem dan bagaimana cara antar setiap komponen berinteraksi. Sebagai contoh, penggunaan virtual whiteboard sebagai salah satu inovasi automatic reconfiguration yang menciptakan ilusi pengaksesan virtual objects sebagai layaknya fisik suatu benda
3)      Contextual Informations and Commands
Kegiatan manusia bisa diprediksi dari situasi atau lokasi dimana mereka berada. Sebagai contoh, ketika berada di dapur, maka kegiatan yang dilakukan pada lokasi tersebut pasti berkaitan dengan memasak. Hal inilah yang menjadi dasar dari tujuan contextual information and commands, dimana informasi-informasi tersebut dan perintah yang akan dilaksanakan disimpan ke dalam sebuah directory tertentu.
4)      Context-Triggered Actions
Cara kerja sistem context-triggered actions sama layaknya dengan aturan sederhana IF-THEN. Informasi yang berada pada klausa kondisi akan memacu perintah aksi yang harus dilakukan. Kategori sistem context-aware ini bisa dikatakan mirip dengan contextual information and commands, namun perbedaannya terletak pada aturan-aturan kondisi yang harus jelas dan spesifik untuk memacu aksi yang akan dilakukan.
4.      Layanan Perbaikan Sumber
Layanan perbaikan sumber yang dimaksud adalah layanan perbaikan dalam sumber daya manusia (SDM). SDM telematika adalah orang yang melakukan aktivitas yang berhubungan dengan telekomunikasi, media, dan informatika sebagai pengelola, pengembang, pendidik, dan pengguna di lingkungan pemerintah, dunia usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat pada umumnya.
v  Kelebihan

1.      Pada Layanan Telematika di Bidang Informasi, Masyarakat khususnya kalangan menengah kebawah dapat merasakan pemerataan teknologi dan bagi pelajarnya dapat memberikan wawasan yang lebih untuk menunjang studi mereka.

2.      Pada Layanan Telematika di bidang Keamanan, Masyarakat pada umumnya dapat merasa lebih aman karena jika terjadi sesuatu yang diinginkan, mereka dapat langsung menghubungi pihak berwajib dengan teknologi yang ada.

3.      Pada Layanan Context Aware dan Event-Based, Dengan ini si pengguna dapat hak privasi yang lebih tanpa harus melakukan banyak / otomatis sistem yang telah mengatur agar si pengguna tidak diganggu dalam waktu yang diinginkan si pengguna.

4.      Pada Layanan Perbaikan Sumber, Tiap orang dapat bantuan yang lebih dalam yellow pages untuk mencari alamat / nomor telepon suatu instansi.

v  Kerugian Telematika
1.        Pada Layanan Telematika di Bidang Informasi, Jika perhatian kepada mereka yang kurangnya informasi dari kebebasan akses yang mereka lakukan, akan berdampak buruk yang disebabkan pihak yang tidak bertanggung jawab.

2.        Pada Layanan Telematika di bidang Keamanan, Keamanan ini juga berdampak buruk jika ada oknum / Hacker yang berniat jahat untuk membobol suatu sistem keamanan.

3.        Pada Layanan Context Aware dan Event-Based, Si pengguna tidak tahu / akan terlambat mengetahui jika ada panggilan penting saat ia tidak ingin diganggu, seperti ia tidak tahu kalau anaknya masuk rumah sakit ketika ia sedang rapat.

4.        Pada Layanan Perbaikan Sumber, Tidak mudah mencari / tidak cepat karena yellow pages masih dalam bentuk buku. Jadi orang yang ingin mencari informasi di dalamnya harus mencari secara manual dengan membaca indeksnya terlebih dahulu.
SARAN:
Dalam pemanfaatan Telematika, diharapkan agar dapat memanfaatkan layanan Telematika secara baik dan benar  khususnya dalam mempublikasikan data, untuk jenis data yang bersifat penting dan tidak untuk dipublikasikan secara umum.
Pada  sistem telematika ini harusnya pemerintah melakukan pemerataan agar sistem ini dapat berjalan seimbang sejalan dengan perkembangan teknologi masa kini dan agar masyarakat di pelosok dapat merasakan manfaat dari sistem telematika tersebut
SUMBER:

http://vickyariesca.blogspot.com/2013/10/kategori-layanan-telematika.html

Minggu, 05 Oktober 2014

Apa Itu Telematika?

Apa yang dimaksud dengan Telematika?
A.    Pengertian Telematika
Telematika merupakan adopsi dari bahasa Prancis yang sebenarnya adalah “TELEMATIQUE” yang kurang lebih dapat diartikan sebagai bertemunya sistem jaringan komunikasi dengan teknologi informasi. Pertama kali istilah Telematika digunakan di Indonesia adalah pada perubahan pada nama salah satu laboratorium telekomunikasi di ITB pada tahun 1978.

Cikal bakal Laboratorium Telematika berawal pada tahun 1960-an. Sempat berganti-ganti nama mulai dari Laboratorium Switching lalu Laboratorium Telekomunikasi Listrik. Seiring perjalanan waktu dan tajamnya visi para pendiri, pada tahun 1978 dilakukan lagi perubahan nama menjadi Laboratorium Telematika. Ketika itu, nama Telematika tidak sepopuler seperti sekarang. Pada tahun 1978 itulah, di Indonesia, istilah Telematika pertama kali dipakai.

Para praktisi mengatakan bahwa TELEMATICS merupakan perpaduan dari dua kata yaitu dari “TELECOMMUNICATION and INFORMATICS” yang merupakan perpaduan konsep Computing and Communication. Istilah telematika juga dikenal sebagai “the new hybrid technology” karena lahir dari perkembangan teknologi digital. Dalam wikipedia disebutkan bahwa Telematics juga sering disebut dengan ICT (Information and Communications Technology).
Salah satu milis internet Indonesia terbesar adalah milis Telematika. Dari milis inipun tidak ada penjelasan mengapa milis ini bernama telematika, yang jelas arsip pertama kali tercatat dikirimkan pada tanggal 15 Juli 1999. Dari hasil pencarian di arsip mailing list Telematika saya menemukan salah satu ulir diskusi menarik (membutuhkan login) tentang penamaan Telematika yang dikirimkan oleh Paulus Bambang Wirawan.
Istilah telematika sering dipakai untuk beberapa macam bidang, sebagai contoh adalah integrasi antara sistem telekomunikasi dan informatika yang dikenal sebagai Teknologi Komunikasi dan Informatika atau ICT (Information and Communications Technology). Secara lebih spesifik, ICT merupakan ilmu yang berkaitan dengan pengiriman, penerimaan dan penyimpanan informasi dengan menggunakan peralatan telekomunikasi. Secara umum, istilah telematika dipakai juga untuk teknologi Sistem Navigasi/Penempatan Global atau GPS (Global Positioning System) sebagai bagian integral dari komputer dan teknologi komunikasi berpindah (mobile communication technology). Secara lebih spesifik, istilah telematika dipakai untuk bidang kendaraan dan lalulintas (road vehicles dan vehicle telematics).

Apa Itu Telematika dan Bagaimana Perkembangannya di Indonesia.
Di perkembangan zaman yang telah maju di bidang Teknologi Informasi (IT) begitu pula dengan Teknologi telematika, sebelum kita membahas lebih jauh tentang telematika kita harus tau arti telematika itu sendiri, telematika merupakan singkatan dari Telekomunikasi melaui media Informatika.

B.     Fungsi Telematika
Selaras dengan pengertian telematika sebagai sarana komuikasi jarak jauh, maka fungsi dari telematika antara lain :
1.      Penyampai informasi. Telematika digunakan sebagai penyampai informasi agar orang yang melakukan Komunikasi menjadi lebih berpengetahuan dari sebelumnya. Bertambahnya pengetahuan manusia akan meningkatan keterampilan hidup, menambah kecerdasan, meningkatkan kesadaran dan wawasan.
2.       Sarana Kontak sosial hidup bermasyarakat. Interaksi sosial menimbulkan kebersamaan; keakraban, dan kesatuan yang akan melahirkan kerjasama. Telematika menjadi penghubung diantara peserta kerjasama tersebut, walaupun mereka tersebar dimana-mana. Telematika menjembatani proses interaksi sosial dan kerjasama sehingga menghasilkan jasa yang memiliki nilai tambah dibanding hasil perseorangan

C.     Perkembangan Telematika Di Indonesia
Peristiwa proklamasi 1945 membawa perubahan yang bagi masyarakat Indonesia, dan sekaligus menempatkannya pada situasi krisis jati diri. Krisis ini terjadi karena Indonesia sebagai sebuah negara belum memiliki perangkat sosial, hukum, dan tradisi yang mapan. Situasi itu menjadi ‘bahan bakar’ bagi upaya-upaya pembangunan karakter bangsa di tahun 50-an dan 60-an. Di awal 70-an, ketika kepemimpinan soeharto, orientasi pembangunan bangsa digeser ke arah ekonomi, sementara proses – proses yang dirintis sejak tahun 50-an belum mencapai tingkat kematangan.

Dalam latar belakang sosial demikianlah telekomunikasi dan informasi, mulai dari radio, telegrap, dan telepon, televise, satelit telekomunikasi, hingga ke internet dan perangkat multimedia tampil dan berkembang di Indonesia. Perkembangan telematika penulis bagi menjadi 2 masa yaitu masa sebelum atau pra satelit dan masa satelit.

1.       Masa Pra-Satelit
-          Radio dan Telepon
Di periode pra satelit (sebelum tahun 1976), perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia masih terbatas pada bidang telepon dan radio. Radio Republik Indonesia (RRI) lahir dengan di dorong oleh kebutuhan yang mendesak akan adanya alat perjuangan di masa revolusi kemerdekaan tahun 1945, dengan menggunakan perangkat keras seadanya. Dalam situasi demikian ini para pendiri RRI melangsungkan pertemuan pada tanggal 11 September 1945 untuk merumuskan jati diri keberadaan RRI sebagai sarana komunikasi antara pemerintah dengan rakyat, dan antara rakyat dengan rakyat.

Sedangkan telepon pada masa itu tidak terlalu penting sehingga anggaran pemerintah untuk membangun telekomunikasipun masih kecil jumlahnya. Saat itu, telepon dikelola oleh PTT (Perusahaan Telepon dan Telegrap) saja. Sampai pergantian rezim dari Orla ke Orba di tahun 1965, RRI merupakan operator tunggal siaran radio di Indonesia. Setelah itu bermunculan radio – radio siaran swasta. Lima tahun kemudian muncul PP NO. 55 tahun 1970 yang mengatur tentang radio siaran non pemerintah.

Periode awal tahun 1960-an merupakan masa suram bagi pertelekomunikasian Indonesia, para ahli teknologi masih menggeluti teknologi sederhana dan “kuno”. Misalnya saja, PTT masih menggunakan sentral-sentral telepon yang manual, teknik radio High Frequency ataupun saluran kawat terbuka (Open Were Lines). Pada masa itu, banyak negara pemberi dana untuk Indonesia – termasuk pendana untuk pengembangan telekomunikasi, menghentikan bantuannya. Hal itu karena semakin memburuknya situasi dan kondisi ekonomi dan politi di Indonesia.

Tercatat bahwa pada masa 1960-1967, hanya Jerman saja yang masih bersikap setia dan menaruh perhatian besar pada bidang telekomunikasi Indonesia, dan menyediakan dana walau di masa-masa sulit sekalipun. Ketika itu pengembangan telekomunikasi masih difokuskan pada pengadaan sentra telepon, baik untuk komunikasi lokal maupun jarak jauh, dan jaringan kabel. Indonesia saat itu belum memiliki satelit. Sentral telepon beserta perlengkapan hubungan jarak jauh ini diperoleh dari Jerman. Pada saat itu, Indonesia hanya dapat membeli produk yang sama, dari perusahaan yang sama, yakni Perusahaan Jerman. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia.

Keleluasaan barulah bisa dirasakan setelah di tahun 1967/1968 mengalir pinjaman-pinjaman ke Indonesia, baik bilateral ataupun pinjaman multilateral dari Bank Dunia, melalui pinjaman yang disepakati IGGI. Akan tetapi, pada masa inipun inovasi dalam pemfungsian teknologi telekomunikasi masih belum berkembang dengan baik di negeri ini. Peda dasarnya kita memberi dan memakai perlengkapan seperti switches, cables, carries yang sudah lazim kita pakai sebelumnya.

-          Televisi
Badan penyiaran televisi lahir tahun 1962 sebelum adanya satelit yang semula hanya dimaksudkan sebagai perlengkapan bagi penyelenggara Asian Games IV di Jakarta. Siaran percobaan pertama kali terjadi pada 17 Agustus 1962 yang menyiarkan upacara peringatan kemerdekaan RI dari Istana Merdeka melalui microwave. Dan pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI bisa menyiarkan upacara pembukaan Asian Games, dan tanggal itu dinyatakan sebagai hari jadi TVRI.
Terdorong oleh inovasi, akhirnya pada tanggal 14 November 1962 untuk pertama kalinya TVRI memberanikan diri melakukan siaran langsung dari studio yang berukuran 9×11 meter dan tanpa akustik yang memadai. Acaranya terbatas, hanya berupa permainan piano tunggal oleh B.J. Supriadi dengan pengaruh acara Alex Leo.
Lebih setahun setelah siaran pertama, barulah keberadaan TVRI dijelaskan dengan pembentukan Yayasan TVRI melalui Keppres No. 215/1963 tertanggal 20 oktober 1963. Antara lain disebutkan bahwa TVRI menjadi alat hubungan masyarakat (mass communication media) dalam pembangunan mental/spiritual dan fisik daripada Bangsa dan Negara Indonesia serta pembentukan manusia sosialis Indonesia pada khususnya.

D.    Kelebihan dan Kekurangan Telematika

KELEBIHAN :
Telematika telah memberikan nilah tambah bagi masyarakat luas yaitu dalam perekonomian nasional. Ditandai dengan mulai maraknya sekelompok anak muda membangun bisnis baru menggunakan teknologi Internet. Pembangunan sektor Telematika diyakini akan memengaruhi perkembangan sektor-sektor lainnya. Sebagaimana diyakini oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang konsisten menyatakan bahwa dengan asumsi semua persyaratan terpenuhi, penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara-negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya.

KEKURANGAN :
banyak kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan media internet. Contohnya cyber crime dengan cara mencuri data kartu kredit dari nasabah suatu bank, sehingga si pelaku carding (carder) dapat menggunakan data tersebut untuk keuntungan pribadi. Penyebaran virus atau malicious ware fraud atau penipuan yang menggunakan electronic mail sebagai alat penyebaran informasi bagi si penipu.

E.     Infrastruktur telematika
Menurut Jonathan L.Parapak (Presiden komisaris PT.Indosat) dalam http://www.bogor.net, perkembangan infrastruktur ini dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain kebijakan nasional sector telekomunikasi, regulasi sector, kondisi ekonomi makro, kemampuan para pelaku nasional. Pada tatanan kebijakan patut dicatat beberapa kemajuan yang sangat penting, antara lain diundangkannya UU tentang Telekomunikasi no. 36 tahun 1999 dan dikeluarkannya cetak biru kebijaksanaan tentang telekomunikasi di Indonesia tanggal 20 Juli 1999.

Pada tatanan regulasi telah dicapai beberapa perkembangan penting antara lain dimungkinkannya pern swasta dan masyarakat yang semakin tinggi dalam pengembangan regulasi yang telah terwujud dalam penetapan tariff dan interkoneksi standard, dan lain-lain. Pada tatanan penyelenggaraan kondisi monopoli dan duopoli yang masih menghambat peran swasta dan masyarakat lebih besar, keadaan ekonomi yang baru tumbuh sangat mempengaruhi daya beli masyarakat.

Dalam kondisi ini, kelihatannya sasaran pembangunan infrastuktur baik adimarga informasi, multimedia city akan mengalami penundaan. Namun demikian perlu dicatat bahwa PT.Telkom telah berupaya membangun lingkar-lingkar adimarga kepulauan dan infrastruktur multimedia di Jakarta. Infrastruktur informasi telah maju selangkah dengan beroperasinya satelit Telkom 1.

Salah satu aspek yang penting adalah pemanfaatan secara optimal infrastruktur yang ada. Tampaknya perlu dikembangkan kebijaksanaan baik pada tingkat pemerintah maupun pada tingkat penyelenggaraan agar investasi yang telah dilakukan dapat termanfaatkan dengan berdaya guna dan berhasil guna bagi berbagai komponen masyarakat, baik pendidikan, layanan kesehatan, pemerintahan maupun kegiatan bisnis.

F.      Saran
Saran saya tentang telematika adalah: Pemerintah khususnya Kementrian KOMINFO harus berusaha mengimbangi perkembangan teknologi dunia agar mengurangi dampak dari kekurangan telematika yang sudah disebutkan diatas.
Dan untuk mengimbangi dampak kelebihan telematika saya harap pemerintah dapat menaikan standard kecepatan internet di indonesia. Kalau kata mentri kita “internet cepat buat apa?” hahaha sekarang saya balikan “internet lambat bisa apa?”




Rabu, 02 April 2014

PARADIGMA PEMILU LEGISLATIF 2014

Pemilu 2014 semakin semarak dengan kahadiran calon legislatif (caleg) dari kalangan selebriti atau artis. Fenomena menarik terkait kegiatan tersebut adalah, saat ini parpol berlomba memasang wajah para artis untuk diajukan sebagai calon legislatif. Tujuannya, tidak lain adalah mendulang suara sebanyak-banyaknya  melalui artis tersebut. Perlu kita akui bersama, keberadaan seorang artis dalam dunia politik sangat diuntungkan dengan adanya modal sosial yang dimiliki, yaitu ketenaran dan popularitasnya.
Melalui pemilu yang dilakukan secara langsung ini, ketenaran seseorang sangat memengaruhi ketertarikan orang untuk memilihnya. Dengan wajah yang menarik dan bermodal ketenaran tersebut, seorang artis memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan calon dari kalangan nonartis.
Di alam demokrasi politik sekarang ini, pada dasarnya semua orang memiliki hak yang sama dalam mencalonkan diri sebagai pejabat legislatif, bahkan di eksekutif sekalipun, sehingga pada ranah kepemimpinan nasional atau daerah, artis juga memiliki peluang sangat besar untuk dijual kepada publik.
Dengan adanya fenomena tersebut, secara sederhana dapat diambil sebuah kesimpulan, parpol ternyata tidak percaya diri mengusung kadernya yang bukan artis. Parpol lebih banyak mencari “jalan pintas” dalam mendulang suara dari publik.
Misi demokratisasi politik yang kita idamkan telah gagal dengan masuknya prinsip “pragmatisme politik” dalam masing-masing parpol. Kondisi ini secara substansial tidak mencerdaskan rakyat dalam berpolitik, tetapi telah terjadi pembodohan politik yang dilakukan parpol.
Partai politik di alam demokrasi merupakan lembaga yang sangat strategis dengan tujuan mampu melahirkan para politikus-politikus andal, bahkan mampu menghasilkan para negarawan yang mampu mengatur bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Seseorang yang ingin menjadi politikus, anggota legislatif, dan pejabat eksekutif harus memiliki tiket politik dari partai politik.
Kehadiran banyak artis dalam dunia politik merupakan sebuah “anomali politik”. Itu karena partai politik belum mampu menghasilkan politikus dan negarawan tangguh. Dengan demikian, melalui jalan merekrut para artis, suara parpol tersebut dapat terdongkak.
Di negara yang tingkat demokrasi sudah matang, terdapat garis pemisah yang sangat tegas antara dunia politik dan dunia entertain. Namun, khusus di Indonesia hal tersebut belum mampu dipisahkan secara tegas.
Oleh karena itu, tidak berlebihan bila panggung politik kita diibaratkan dengan “panggung entertain”, yang di atasnya tampil para entertainer politik yang hanya mampu memerankan peran tertentu layaknya panggung hiburan.

Politikus Artis dan Artis Politikus
Dari fenomena di atas, kini muncul istilah politikus artis dan artis politikus. Saat ini, kedua istilah tersebut secara substansial dalam praktiknya tidak mengalami perbedaan berarti. Istilah politikus artis secara harfiah diartikan sebagai politikus yang berasal dari kalangan selebriti.
Namun, artis politikus merupakan politikus yang sebenarnya bukan dari kalangan selebriti, namun perilakunya sudah menyerupai selebriti dalam berpolitik. Artis politikus ini sangat menjaga citra, pandai memainkan peran, bahkan dalam beberapa hal pandai menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya.
Tengok saja bagaimana para politikus kita dengan sangat meyakinkan menutupi keterlibatannya dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangannya. Namun, pada akhirnya dengan bukti-bukti kuat mereka ditetapkan juga sebagai tersangka.
Belum lagi kasus amoral yang melibatkan banyak para politikus dan pejabat negara kita saat ini. Dengan demikian, secara subtansial menunjukkan, keduanya (politikus artis dan artis politikus) memiliki persamaan sangat nyata.
Kekhawatiran yang besar dari publik adalah, semakin banyaknya artis yang masuk ke dalam lembaga-lembaga politik dan pemerintahan akan menjadikan lembaga politik sebagai lembaga entertain yang di dalamnya banyak bertabur lakon-lakon politik, yang tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan politik guna menyejahterakan rakyatnya.
Fakta menunjukkan, peran politikus artis kita belum signifikan, Hanya segelintir politikus artis yang mampu berperan baik sebagai politikus. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah terdapat beberapa artis yang sudah menjadi politikus, namun masih saja sering tampil dalam dunia keartisannya. Artinya, ia tidak fokus sebagai politikus yang berlabel wakil rakyat.

Konflik Internal Partai
Masuknya beberapa artis sebagai caleg partai yang notabene sebagai “orang luar”, tentunya akan menimbulkan konflik internal dalam partai politik tersebut. Pertarungan antarkader internal dengan para artis tersebut berujung kepada keputusan yang diskriminasi. Dalam beberapa kasus, partai politik lebih memilih artis dibandingkan kader internal, dengan alasan kader internal tidak populer.
Banyaknya fenomena tersebut, secara tidak langsung turut mendiskreditkan peran para politikus yang sudah sejak awal bercita-cita, bahkan bersungguh-sungguh ingin menjadi politikus. Namun, akhirnya mereka harus terpinggirkan karena kalah bersaing dengan para bintang tersebut.
Secara substansial dapat disimpulkan, parpol tidak mampu melahirkan politikus tulen. Parpol hanya mampu menghasilkan politikus karbitan. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah, parpol hanya mampu menopang ketenaran seorang pesohor tersebut.

Publik sangat berharap parpol mampu menghasilkan para politikus andal. Tengok saja misalnya, seorang Jokowi yang bukan dari kalangan selebriti mampu tampil sebagai kader partai yang sangat disegani.
Tengok saja dalam sejarah, parpol mampu menghasilkan Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, dan beberapa politikus lainnya yang sangat berdedikasi memperjuangkan nasib rakyatnya. Publik sangat merindukan lahirnya tokoh-tokoh besar tersebut, sehingga negara ini benar-benar disegani di kancah perpolitikan nasional bahkan internasional.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis tidak apriori dengan tampilnya kalangan selebriti dalam dunia politik. Namun, yang perlu ditekankan adalah, integritas, dedikasi, dan profesionalitas dalam mengelola negara ini harus menjadi prioritas utama.
Dengan demikian, ketika menyaring dari kalangan selebriti untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, parpol tidak hanya mempertimbangkan ketenarannya, tapi juga keseriusannya dalam mengurus negara ini.
Panggung politik bukanlah panggung sandiwara, melainkan panggung yang berisi orang-orang terpilih yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Kegiatan berpolitik tidak bisa dilakukan dengan sambilan, tapi dengan penuh keseriusan sehingga terlahir beberapa keputusan politik terbaik dan mampu menyelamatkan negara ini dari kahancuran.

Angka tinggi golput dalam Pemilu 2014 masih merupakan ancaman serius. Meski berapa pun angka itu tidak memengaruhi keabsahan hasil kontestasi, tetap saja menjadi catatan buruk atas legitimasi hasil ataupun prosesnya. Tren pemilu (pilkada) beberapa tahun ini yang memperlihatkan kecenderungan kekurangantusiasan masyarakat mengikuti prosesi tersebut, perlu mendapat perhatian para pemangku kebijakan. Penyelenggara bukan tidak menyadari hal tersebut, terbukti dari persiapan antisipatif yang telah dan akan dilakukan.
Caleg yang tidak memiliki koneksi (pengaruh) kuat di internal parpol bisa jadi tak dimasukkan daftar calon yang disampaikan ke KPU atau ditempatkan di urutan bawah yang dari sisi psikologis tidak strategis. Demikian pula persoalan finansial calon, diyakini berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam pemilu. Pada era model pemilihan ìliberalî tiap calon dituntut mencari sebanyak-banyaknya suara untuk bisa lolos menjadi wakil rakyat. Perlu modal tidak sedikit untuk memperkenalkan diri ke publik dan meyakinkan (memengaruhi) pemilih agar menjatuhkan pilihan.
Keberadaan calon hasil nepotisme atau hanya bermodal materi semata menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemampuan dan komitmen mereka memperjuangkan aspirasi rakyat setelah caleg itu terpilih? Masyarakat pada hakikatnya mengharapkan calon berkualitas, tetapi ironisnya mereka acap terjebak pola yang bersifat pragmatisme. Repotnya, parpol dan caleg mengikuti selera ìpasarî. Inilah yang menyebabkan sejumlah selebriti dengan bermodal popularitas dan pemodal besar laris manis diperebutkan parpol untuk dipasang sebagai vote getter.
 Dampak negatif dari pola relasi semacam itu adalah kualitas caleg cenderung kurang diperhatikan oleh parpol atau masyarakat. Aspek kompetensi, kualitas moral, dan komitmen kerakyatan tersisih oleh popularitas dan kemampuan materi. Regulasi yang berlaku sekarang tak bisa banyak diharapkan untuk memperbaiki output caleg dari partai politik. Contohnya terkait persyaratan calon, tidak tampak adanya upaya mengakselerasi kemunculan caleg yang mumpuni. Bahkan, bekas narapidana pun punya kesempatan mencalonkan diri setelah 5 tahun bebas. Apatisme publik juga didorong fenomena caleg petahana (incumbent). Realitas saat ini, mayoritas incumbent mencalonkan kembali. Memang, tidak semua legislator periode sekarang ini ìbermasalahî. Namun harus diakui, tidak banyak di antara mereka yang mempunyai prestasi membanggakan. Muka Lama Tampaknya parpol kurang peduli dengan rekam jejak dan kinerja petahana. Jika banyak petahana legislator mencalonkan diri (menurut Formappi sekitar 90% muka lama di DPR) dan kembali terpilih, perubahan yang diharapkan kemungkinan kecil tercapai. Kesan berburu kekuasaan terlihat pula dari fenomena caleg yang berasal dari pejabat publik (menteri). Sedikitnya 10 menteri yang sekarang ini menjabat dalam kabinet bakal maju dalam pemilu mendatang.

Fenomena caleg kutu loncat layak pula dicermati sebagai bagian cara politikus berebut kekuasaan. Fenomena tersebut memancing pertanyaan, sejauh mana keseriusan dan kualitas parpol dalam menyeleksi caleg? Sejauh mana komitmen dan konsistensi calon terhadap visi/misi partai? Apakah hanya memandang parpol sebagai kendaraan politik? Kondisi riil caleg, dengan segala kelebihan dan keterbatasan, jelas memengaruhi antusiasme pemilih untuk menyuarakan hak pilih.
Daya tarik caleg yang tak maksimal, berisiko memperbesar angka golput. Merupakan hak publik untuk mengharapkan kehadiran caleg berkualitas dalam konteks keterpenuhan syarat ideal seorang calon. Sekarang, apa pun adanya komposisi DCT, tugas pihak-pihak terkait menyosialisasikan dan mempromosikan para caleg ke masyarakat. Diperlukan terobosan untuk memengaruhi pemilih supaya mau mendatang TPS, dan memilih. Model konvensional dengan mengajak-ajak pemilih tampaknya bukan lagi cara jitu. Perlu strategi yang intinya meyakinkan publik bahwa caleg yang ada layak dipilih dan ìsetiaî dengan aspirasi konstituen. Misal, dengan menggelar semacam kontrak politik atau kontrak hukum antara caleg dan pemilih. Harapannya, selain meningkatkan antusisme pemilih juga mendorong keterwujudan legislator yang amanah.