Rabu, 02 April 2014

PARADIGMA PEMILU LEGISLATIF 2014

Pemilu 2014 semakin semarak dengan kahadiran calon legislatif (caleg) dari kalangan selebriti atau artis. Fenomena menarik terkait kegiatan tersebut adalah, saat ini parpol berlomba memasang wajah para artis untuk diajukan sebagai calon legislatif. Tujuannya, tidak lain adalah mendulang suara sebanyak-banyaknya  melalui artis tersebut. Perlu kita akui bersama, keberadaan seorang artis dalam dunia politik sangat diuntungkan dengan adanya modal sosial yang dimiliki, yaitu ketenaran dan popularitasnya.
Melalui pemilu yang dilakukan secara langsung ini, ketenaran seseorang sangat memengaruhi ketertarikan orang untuk memilihnya. Dengan wajah yang menarik dan bermodal ketenaran tersebut, seorang artis memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan calon dari kalangan nonartis.
Di alam demokrasi politik sekarang ini, pada dasarnya semua orang memiliki hak yang sama dalam mencalonkan diri sebagai pejabat legislatif, bahkan di eksekutif sekalipun, sehingga pada ranah kepemimpinan nasional atau daerah, artis juga memiliki peluang sangat besar untuk dijual kepada publik.
Dengan adanya fenomena tersebut, secara sederhana dapat diambil sebuah kesimpulan, parpol ternyata tidak percaya diri mengusung kadernya yang bukan artis. Parpol lebih banyak mencari “jalan pintas” dalam mendulang suara dari publik.
Misi demokratisasi politik yang kita idamkan telah gagal dengan masuknya prinsip “pragmatisme politik” dalam masing-masing parpol. Kondisi ini secara substansial tidak mencerdaskan rakyat dalam berpolitik, tetapi telah terjadi pembodohan politik yang dilakukan parpol.
Partai politik di alam demokrasi merupakan lembaga yang sangat strategis dengan tujuan mampu melahirkan para politikus-politikus andal, bahkan mampu menghasilkan para negarawan yang mampu mengatur bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Seseorang yang ingin menjadi politikus, anggota legislatif, dan pejabat eksekutif harus memiliki tiket politik dari partai politik.
Kehadiran banyak artis dalam dunia politik merupakan sebuah “anomali politik”. Itu karena partai politik belum mampu menghasilkan politikus dan negarawan tangguh. Dengan demikian, melalui jalan merekrut para artis, suara parpol tersebut dapat terdongkak.
Di negara yang tingkat demokrasi sudah matang, terdapat garis pemisah yang sangat tegas antara dunia politik dan dunia entertain. Namun, khusus di Indonesia hal tersebut belum mampu dipisahkan secara tegas.
Oleh karena itu, tidak berlebihan bila panggung politik kita diibaratkan dengan “panggung entertain”, yang di atasnya tampil para entertainer politik yang hanya mampu memerankan peran tertentu layaknya panggung hiburan.

Politikus Artis dan Artis Politikus
Dari fenomena di atas, kini muncul istilah politikus artis dan artis politikus. Saat ini, kedua istilah tersebut secara substansial dalam praktiknya tidak mengalami perbedaan berarti. Istilah politikus artis secara harfiah diartikan sebagai politikus yang berasal dari kalangan selebriti.
Namun, artis politikus merupakan politikus yang sebenarnya bukan dari kalangan selebriti, namun perilakunya sudah menyerupai selebriti dalam berpolitik. Artis politikus ini sangat menjaga citra, pandai memainkan peran, bahkan dalam beberapa hal pandai menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya.
Tengok saja bagaimana para politikus kita dengan sangat meyakinkan menutupi keterlibatannya dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangannya. Namun, pada akhirnya dengan bukti-bukti kuat mereka ditetapkan juga sebagai tersangka.
Belum lagi kasus amoral yang melibatkan banyak para politikus dan pejabat negara kita saat ini. Dengan demikian, secara subtansial menunjukkan, keduanya (politikus artis dan artis politikus) memiliki persamaan sangat nyata.
Kekhawatiran yang besar dari publik adalah, semakin banyaknya artis yang masuk ke dalam lembaga-lembaga politik dan pemerintahan akan menjadikan lembaga politik sebagai lembaga entertain yang di dalamnya banyak bertabur lakon-lakon politik, yang tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan politik guna menyejahterakan rakyatnya.
Fakta menunjukkan, peran politikus artis kita belum signifikan, Hanya segelintir politikus artis yang mampu berperan baik sebagai politikus. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah terdapat beberapa artis yang sudah menjadi politikus, namun masih saja sering tampil dalam dunia keartisannya. Artinya, ia tidak fokus sebagai politikus yang berlabel wakil rakyat.

Konflik Internal Partai
Masuknya beberapa artis sebagai caleg partai yang notabene sebagai “orang luar”, tentunya akan menimbulkan konflik internal dalam partai politik tersebut. Pertarungan antarkader internal dengan para artis tersebut berujung kepada keputusan yang diskriminasi. Dalam beberapa kasus, partai politik lebih memilih artis dibandingkan kader internal, dengan alasan kader internal tidak populer.
Banyaknya fenomena tersebut, secara tidak langsung turut mendiskreditkan peran para politikus yang sudah sejak awal bercita-cita, bahkan bersungguh-sungguh ingin menjadi politikus. Namun, akhirnya mereka harus terpinggirkan karena kalah bersaing dengan para bintang tersebut.
Secara substansial dapat disimpulkan, parpol tidak mampu melahirkan politikus tulen. Parpol hanya mampu menghasilkan politikus karbitan. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah, parpol hanya mampu menopang ketenaran seorang pesohor tersebut.

Publik sangat berharap parpol mampu menghasilkan para politikus andal. Tengok saja misalnya, seorang Jokowi yang bukan dari kalangan selebriti mampu tampil sebagai kader partai yang sangat disegani.
Tengok saja dalam sejarah, parpol mampu menghasilkan Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, dan beberapa politikus lainnya yang sangat berdedikasi memperjuangkan nasib rakyatnya. Publik sangat merindukan lahirnya tokoh-tokoh besar tersebut, sehingga negara ini benar-benar disegani di kancah perpolitikan nasional bahkan internasional.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis tidak apriori dengan tampilnya kalangan selebriti dalam dunia politik. Namun, yang perlu ditekankan adalah, integritas, dedikasi, dan profesionalitas dalam mengelola negara ini harus menjadi prioritas utama.
Dengan demikian, ketika menyaring dari kalangan selebriti untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, parpol tidak hanya mempertimbangkan ketenarannya, tapi juga keseriusannya dalam mengurus negara ini.
Panggung politik bukanlah panggung sandiwara, melainkan panggung yang berisi orang-orang terpilih yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Kegiatan berpolitik tidak bisa dilakukan dengan sambilan, tapi dengan penuh keseriusan sehingga terlahir beberapa keputusan politik terbaik dan mampu menyelamatkan negara ini dari kahancuran.

Angka tinggi golput dalam Pemilu 2014 masih merupakan ancaman serius. Meski berapa pun angka itu tidak memengaruhi keabsahan hasil kontestasi, tetap saja menjadi catatan buruk atas legitimasi hasil ataupun prosesnya. Tren pemilu (pilkada) beberapa tahun ini yang memperlihatkan kecenderungan kekurangantusiasan masyarakat mengikuti prosesi tersebut, perlu mendapat perhatian para pemangku kebijakan. Penyelenggara bukan tidak menyadari hal tersebut, terbukti dari persiapan antisipatif yang telah dan akan dilakukan.
Caleg yang tidak memiliki koneksi (pengaruh) kuat di internal parpol bisa jadi tak dimasukkan daftar calon yang disampaikan ke KPU atau ditempatkan di urutan bawah yang dari sisi psikologis tidak strategis. Demikian pula persoalan finansial calon, diyakini berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam pemilu. Pada era model pemilihan ìliberalî tiap calon dituntut mencari sebanyak-banyaknya suara untuk bisa lolos menjadi wakil rakyat. Perlu modal tidak sedikit untuk memperkenalkan diri ke publik dan meyakinkan (memengaruhi) pemilih agar menjatuhkan pilihan.
Keberadaan calon hasil nepotisme atau hanya bermodal materi semata menimbulkan pertanyaan sejauh mana kemampuan dan komitmen mereka memperjuangkan aspirasi rakyat setelah caleg itu terpilih? Masyarakat pada hakikatnya mengharapkan calon berkualitas, tetapi ironisnya mereka acap terjebak pola yang bersifat pragmatisme. Repotnya, parpol dan caleg mengikuti selera ìpasarî. Inilah yang menyebabkan sejumlah selebriti dengan bermodal popularitas dan pemodal besar laris manis diperebutkan parpol untuk dipasang sebagai vote getter.
 Dampak negatif dari pola relasi semacam itu adalah kualitas caleg cenderung kurang diperhatikan oleh parpol atau masyarakat. Aspek kompetensi, kualitas moral, dan komitmen kerakyatan tersisih oleh popularitas dan kemampuan materi. Regulasi yang berlaku sekarang tak bisa banyak diharapkan untuk memperbaiki output caleg dari partai politik. Contohnya terkait persyaratan calon, tidak tampak adanya upaya mengakselerasi kemunculan caleg yang mumpuni. Bahkan, bekas narapidana pun punya kesempatan mencalonkan diri setelah 5 tahun bebas. Apatisme publik juga didorong fenomena caleg petahana (incumbent). Realitas saat ini, mayoritas incumbent mencalonkan kembali. Memang, tidak semua legislator periode sekarang ini ìbermasalahî. Namun harus diakui, tidak banyak di antara mereka yang mempunyai prestasi membanggakan. Muka Lama Tampaknya parpol kurang peduli dengan rekam jejak dan kinerja petahana. Jika banyak petahana legislator mencalonkan diri (menurut Formappi sekitar 90% muka lama di DPR) dan kembali terpilih, perubahan yang diharapkan kemungkinan kecil tercapai. Kesan berburu kekuasaan terlihat pula dari fenomena caleg yang berasal dari pejabat publik (menteri). Sedikitnya 10 menteri yang sekarang ini menjabat dalam kabinet bakal maju dalam pemilu mendatang.

Fenomena caleg kutu loncat layak pula dicermati sebagai bagian cara politikus berebut kekuasaan. Fenomena tersebut memancing pertanyaan, sejauh mana keseriusan dan kualitas parpol dalam menyeleksi caleg? Sejauh mana komitmen dan konsistensi calon terhadap visi/misi partai? Apakah hanya memandang parpol sebagai kendaraan politik? Kondisi riil caleg, dengan segala kelebihan dan keterbatasan, jelas memengaruhi antusiasme pemilih untuk menyuarakan hak pilih.
Daya tarik caleg yang tak maksimal, berisiko memperbesar angka golput. Merupakan hak publik untuk mengharapkan kehadiran caleg berkualitas dalam konteks keterpenuhan syarat ideal seorang calon. Sekarang, apa pun adanya komposisi DCT, tugas pihak-pihak terkait menyosialisasikan dan mempromosikan para caleg ke masyarakat. Diperlukan terobosan untuk memengaruhi pemilih supaya mau mendatang TPS, dan memilih. Model konvensional dengan mengajak-ajak pemilih tampaknya bukan lagi cara jitu. Perlu strategi yang intinya meyakinkan publik bahwa caleg yang ada layak dipilih dan ìsetiaî dengan aspirasi konstituen. Misal, dengan menggelar semacam kontrak politik atau kontrak hukum antara caleg dan pemilih. Harapannya, selain meningkatkan antusisme pemilih juga mendorong keterwujudan legislator yang amanah.