Pemilu
2014 semakin semarak dengan kahadiran calon legislatif (caleg) dari kalangan
selebriti atau artis. Fenomena menarik terkait kegiatan tersebut adalah, saat
ini parpol berlomba memasang wajah para artis untuk diajukan sebagai calon
legislatif. Tujuannya, tidak lain adalah mendulang suara
sebanyak-banyaknya melalui artis
tersebut. Perlu kita akui bersama, keberadaan seorang artis dalam dunia politik
sangat diuntungkan dengan adanya modal sosial yang dimiliki, yaitu ketenaran
dan popularitasnya.
Melalui
pemilu yang dilakukan secara langsung ini, ketenaran seseorang sangat
memengaruhi ketertarikan orang untuk memilihnya. Dengan wajah yang menarik dan
bermodal ketenaran tersebut, seorang artis memiliki kelebihan tersendiri
dibandingkan calon dari kalangan nonartis.
Di
alam demokrasi politik sekarang ini, pada dasarnya semua orang memiliki hak
yang sama dalam mencalonkan diri sebagai pejabat legislatif, bahkan di
eksekutif sekalipun, sehingga pada ranah kepemimpinan nasional atau daerah,
artis juga memiliki peluang sangat besar untuk dijual kepada publik.
Dengan
adanya fenomena tersebut, secara sederhana dapat diambil sebuah kesimpulan,
parpol ternyata tidak percaya diri mengusung kadernya yang bukan artis. Parpol
lebih banyak mencari “jalan pintas” dalam mendulang suara dari publik.
Misi
demokratisasi politik yang kita idamkan telah gagal dengan masuknya prinsip
“pragmatisme politik” dalam masing-masing parpol. Kondisi ini secara
substansial tidak mencerdaskan rakyat dalam berpolitik, tetapi telah terjadi
pembodohan politik yang dilakukan parpol.
Partai
politik di alam demokrasi merupakan lembaga yang sangat strategis dengan tujuan
mampu melahirkan para politikus-politikus andal, bahkan mampu menghasilkan para
negarawan yang mampu mengatur bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Seseorang yang
ingin menjadi politikus, anggota legislatif, dan pejabat eksekutif harus
memiliki tiket politik dari partai politik.
Kehadiran
banyak artis dalam dunia politik merupakan sebuah “anomali politik”. Itu karena
partai politik belum mampu menghasilkan politikus dan negarawan tangguh. Dengan
demikian, melalui jalan merekrut para artis, suara parpol tersebut dapat
terdongkak.
Di
negara yang tingkat demokrasi sudah matang, terdapat garis pemisah yang sangat
tegas antara dunia politik dan dunia entertain. Namun, khusus di Indonesia hal
tersebut belum mampu dipisahkan secara tegas.
Oleh
karena itu, tidak berlebihan bila panggung politik kita diibaratkan dengan
“panggung entertain”, yang di atasnya tampil para entertainer politik yang
hanya mampu memerankan peran tertentu layaknya panggung hiburan.
Politikus Artis dan Artis Politikus
Dari
fenomena di atas, kini muncul istilah politikus artis dan artis politikus. Saat
ini, kedua istilah tersebut secara substansial dalam praktiknya tidak mengalami
perbedaan berarti. Istilah politikus artis secara harfiah diartikan sebagai
politikus yang berasal dari kalangan selebriti.
Namun,
artis politikus merupakan politikus yang sebenarnya bukan dari kalangan
selebriti, namun perilakunya sudah menyerupai selebriti dalam berpolitik. Artis
politikus ini sangat menjaga citra, pandai memainkan peran, bahkan dalam
beberapa hal pandai menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya.
Tengok
saja bagaimana para politikus kita dengan sangat meyakinkan menutupi
keterlibatannya dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangannya. Namun,
pada akhirnya dengan bukti-bukti kuat mereka ditetapkan juga sebagai tersangka.
Belum
lagi kasus amoral yang melibatkan banyak para politikus dan pejabat negara kita
saat ini. Dengan demikian, secara subtansial menunjukkan, keduanya (politikus
artis dan artis politikus) memiliki persamaan sangat nyata.
Kekhawatiran
yang besar dari publik adalah, semakin banyaknya artis yang masuk ke dalam
lembaga-lembaga politik dan pemerintahan akan menjadikan lembaga politik sebagai
lembaga entertain yang di dalamnya banyak bertabur lakon-lakon politik, yang
tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan politik guna menyejahterakan
rakyatnya.
Fakta
menunjukkan, peran politikus artis kita belum signifikan, Hanya segelintir
politikus artis yang mampu berperan baik sebagai politikus. Bahkan, yang lebih
menyakitkan adalah terdapat beberapa artis yang sudah menjadi politikus, namun
masih saja sering tampil dalam dunia keartisannya. Artinya, ia tidak fokus
sebagai politikus yang berlabel wakil rakyat.
Konflik Internal Partai
Masuknya
beberapa artis sebagai caleg partai yang notabene sebagai “orang luar”,
tentunya akan menimbulkan konflik internal dalam partai politik tersebut.
Pertarungan antarkader internal dengan para artis tersebut berujung kepada
keputusan yang diskriminasi. Dalam beberapa kasus, partai politik lebih memilih
artis dibandingkan kader internal, dengan alasan kader internal tidak populer.
Banyaknya
fenomena tersebut, secara tidak langsung turut mendiskreditkan peran para
politikus yang sudah sejak awal bercita-cita, bahkan bersungguh-sungguh ingin
menjadi politikus. Namun, akhirnya mereka harus terpinggirkan karena kalah
bersaing dengan para bintang tersebut.
Secara
substansial dapat disimpulkan, parpol tidak mampu melahirkan politikus tulen.
Parpol hanya mampu menghasilkan politikus karbitan. Bahkan, yang lebih
menyakitkan adalah, parpol hanya mampu menopang ketenaran seorang pesohor
tersebut.
Publik
sangat berharap parpol mampu menghasilkan para politikus andal. Tengok saja
misalnya, seorang Jokowi yang bukan dari kalangan selebriti mampu tampil
sebagai kader partai yang sangat disegani.
Tengok
saja dalam sejarah, parpol mampu menghasilkan Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim,
dan beberapa politikus lainnya yang sangat berdedikasi memperjuangkan nasib
rakyatnya. Publik sangat merindukan lahirnya tokoh-tokoh besar tersebut,
sehingga negara ini benar-benar disegani di kancah perpolitikan nasional bahkan
internasional.
Sebagai
akhir dari tulisan ini, penulis tidak apriori dengan tampilnya kalangan
selebriti dalam dunia politik. Namun, yang perlu ditekankan adalah, integritas,
dedikasi, dan profesionalitas dalam mengelola negara ini harus menjadi
prioritas utama.
Dengan
demikian, ketika menyaring dari kalangan selebriti untuk dicalonkan sebagai
anggota legislatif, parpol tidak hanya mempertimbangkan ketenarannya, tapi juga
keseriusannya dalam mengurus negara ini.
Panggung
politik bukanlah panggung sandiwara, melainkan panggung yang berisi orang-orang
terpilih yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi dalam memperjuangkan
kepentingan rakyatnya. Kegiatan berpolitik tidak bisa dilakukan dengan
sambilan, tapi dengan penuh keseriusan sehingga terlahir beberapa keputusan
politik terbaik dan mampu menyelamatkan negara ini dari kahancuran.
Angka
tinggi golput dalam Pemilu 2014 masih merupakan ancaman serius. Meski berapa
pun angka itu tidak memengaruhi keabsahan hasil kontestasi, tetap saja menjadi
catatan buruk atas legitimasi hasil ataupun prosesnya. Tren pemilu (pilkada)
beberapa tahun ini yang memperlihatkan kecenderungan kekurangantusiasan
masyarakat mengikuti prosesi tersebut, perlu mendapat perhatian para pemangku
kebijakan. Penyelenggara bukan tidak menyadari hal tersebut, terbukti dari
persiapan antisipatif yang telah dan akan dilakukan.
Caleg
yang tidak memiliki koneksi (pengaruh) kuat di internal parpol bisa jadi tak
dimasukkan daftar calon yang disampaikan ke KPU atau ditempatkan di urutan
bawah yang dari sisi psikologis tidak strategis. Demikian pula persoalan
finansial calon, diyakini berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam pemilu.
Pada era model pemilihan ìliberalî tiap calon dituntut mencari
sebanyak-banyaknya suara untuk bisa lolos menjadi wakil rakyat. Perlu modal
tidak sedikit untuk memperkenalkan diri ke publik dan meyakinkan (memengaruhi)
pemilih agar menjatuhkan pilihan.
Keberadaan
calon hasil nepotisme atau hanya bermodal materi semata menimbulkan pertanyaan
sejauh mana kemampuan dan komitmen mereka memperjuangkan aspirasi rakyat
setelah caleg itu terpilih? Masyarakat pada hakikatnya mengharapkan calon
berkualitas, tetapi ironisnya mereka acap terjebak pola yang bersifat
pragmatisme. Repotnya, parpol dan caleg mengikuti selera ìpasarî. Inilah yang
menyebabkan sejumlah selebriti dengan bermodal popularitas dan pemodal besar
laris manis diperebutkan parpol untuk dipasang sebagai vote getter.
Dampak negatif dari pola relasi semacam itu
adalah kualitas caleg cenderung kurang diperhatikan oleh parpol atau
masyarakat. Aspek kompetensi, kualitas moral, dan komitmen kerakyatan tersisih
oleh popularitas dan kemampuan materi. Regulasi yang berlaku sekarang tak bisa
banyak diharapkan untuk memperbaiki output caleg dari partai politik. Contohnya
terkait persyaratan calon, tidak tampak adanya upaya mengakselerasi kemunculan
caleg yang mumpuni. Bahkan, bekas narapidana pun punya kesempatan mencalonkan
diri setelah 5 tahun bebas. Apatisme publik juga didorong fenomena caleg
petahana (incumbent). Realitas saat ini, mayoritas incumbent mencalonkan
kembali. Memang, tidak semua legislator periode sekarang ini ìbermasalahî.
Namun harus diakui, tidak banyak di antara mereka yang mempunyai prestasi
membanggakan. Muka Lama Tampaknya parpol kurang peduli dengan rekam jejak dan
kinerja petahana. Jika banyak petahana legislator mencalonkan diri (menurut
Formappi sekitar 90% muka lama di DPR) dan kembali terpilih, perubahan yang
diharapkan kemungkinan kecil tercapai. Kesan berburu kekuasaan terlihat pula
dari fenomena caleg yang berasal dari pejabat publik (menteri). Sedikitnya 10
menteri yang sekarang ini menjabat dalam kabinet bakal maju dalam pemilu
mendatang.
Fenomena
caleg kutu loncat layak pula dicermati sebagai bagian cara politikus berebut
kekuasaan. Fenomena tersebut memancing pertanyaan, sejauh mana keseriusan dan
kualitas parpol dalam menyeleksi caleg? Sejauh mana komitmen dan konsistensi
calon terhadap visi/misi partai? Apakah hanya memandang parpol sebagai
kendaraan politik? Kondisi riil caleg, dengan segala kelebihan dan
keterbatasan, jelas memengaruhi antusiasme pemilih untuk menyuarakan hak pilih.
Daya
tarik caleg yang tak maksimal, berisiko memperbesar angka golput. Merupakan hak
publik untuk mengharapkan kehadiran caleg berkualitas dalam konteks
keterpenuhan syarat ideal seorang calon. Sekarang, apa pun adanya komposisi
DCT, tugas pihak-pihak terkait menyosialisasikan dan mempromosikan para caleg
ke masyarakat. Diperlukan terobosan untuk memengaruhi pemilih supaya mau
mendatang TPS, dan memilih. Model konvensional dengan mengajak-ajak pemilih
tampaknya bukan lagi cara jitu. Perlu strategi yang intinya meyakinkan publik
bahwa caleg yang ada layak dipilih dan ìsetiaî dengan aspirasi konstituen.
Misal, dengan menggelar semacam kontrak politik atau kontrak hukum antara caleg
dan pemilih. Harapannya, selain meningkatkan antusisme pemilih juga mendorong
keterwujudan legislator yang amanah.